Fyuh, mulai dari mana cerita yaaaaaaaaaaaaa. Bingung sebenarnya mau cerita tapi hati pengen nulis. Iya, aku pengen cerita tentang Juli 2021 kemarin. Cerita tentang banyak hal yang terjadi di bulan itu. Entahlah, rasanya hidupku di Juli itu seperti jatuh tertimpa tangga. Sangat.
Semua dimulai dari awal bulan Juli itu.........
Omku meninggal dunia. Beliau anak tengah dari tiga bersaudara, orang tua kami adiknya. Iya beliau meninggal seorang seorang diri, pagi-pagi ditemukan pembantu. Beliau tinggal seendiri memang, anak-anaknya sama kayak saya merantau semua. Sedih? Pasti. Kebayang kan sendirian saat sakaratul maut?
Karena anak-anaknya belum ada yang datang, keluarga saya dan keluarga kakaknya om datang untuk membantu sampai kubur. Anak-anak dari om saya rencananya sore bakal sampai, jadi kami memang rencana menguburkan jam 3-4 sore.
Sesuatu itu dimulai saat mencari yang mau mengkafani dan menguburkan. Tahu tidak itu susah banget dapat orang (ustad) yang bersedia melakukannya. Hampir semua tidak mau, entah karena ini musim korona. Tapi ya Allah sampai siang kami tidak mendapat orang yang mau :(. Siang hari, akhirnya dapat ustad yang bersedia dan ambulan untuk membawa ke pasarean.
Padahal kalau dipikir-pikir ya, om itu orang terpandang di kota. Dia itu punya hotel ya walau sekarang hotelnya sudah tidak terurus karena anak-anaknya jauh semua. Beliau pun punya istri, tapi lagi-lagi entahlah kenapa istrinya kok tidak menemani. Sebel rasanya. Cuma ya entahlah kenapa tidak ada yang bersedia saat itu.
Kami sendiri tidak tahu om itu meninggalnya kenapa. Karena ya memang seminggu sebelum tidak ada memang silaturahmi masih sehat=sehat saja kebetulan. Entahlah kalau kebetulan beliau kena covid. Ya tahu sendiri semua yang meninggal tiba-tiba sekarang covid jatuhnya. Apalagi dia sendirian.
Sore hari, anak keluarga om datang semua. Akhirnya kami bisa menguburkan om ke makam keluarga. Alhamdulillah. Tidak sampai 15 orang saat itu yang ada di pemakaman, sedikit. Saya jadi ingat saat meninggalnya Mama, mungkin begini juga kali ya dulu. Saya kebetulan tidak dapat meninggalnya Mama saat akhir. Saya berangkat pagi ke Jakarta dan Mama meninggal maghrib :"). Tapi Mama ada Papa waktu itu yang ngurusin. Duh pokoknya anak-anakku jangan jauh-jauh :(.
Baiklah, lanjut. Dua hari kemudian, Bapak demam tinggi tiba-tiba. Hampir 40 derajat, jelas kaget. Kami pikir karena kecapekan. Waktu pemakaman Om memang semua datang, saya, suami, bapak dan anak-anak ikut semua. Kami beri obat demam biasa sambil dipijat-pijat, ya namanya juga sudah tua. 6 Bulan ke belakang, Bapak memang kena TB. Jadi kami memang mengurusi beliau, karena kasihan kalau sendirian sakit.
Besoknya Bapak sesak napas, karena kebetulan ada tabung oksigen ya bisa rada enakan. Badannya panas banget dengan kaki tangan semuanya duinginnn, dia sampai gemeteran. Sedikit terlintas apa Bapak ini kena korona ya? Saya minta suami hubungi keluarga yang datang ke pemakaman waktu itu. Tanya keadaan apa ada yang sama kayak Bapak. Dan ternyata....
"Iya, di sini pada sakit. Sudah swab antigen positif semua"
Huaaaaaaaaaaa. Langsung kaget sayanya. Aduh jangan-jangan Bapak covid juga. Setelah tahu keluarga lain di pemakaman positip, akhirnya kami pun positif. Saya, suami dan Bapak. Hasilnya Bapak posistif dan saya ama suami negatif. Mulailah itu protokol kesehatan, anak-anak terpisah tidak boleh main sama Bapak. Saya dan suami bergantian menjaga Bapak sambil gantian mengurus anak dan kegiatan rumah lainnya.
Cuma saya benci pas ditanya Bapak kena covid di mana? Ya kalau ditelusuri kan saat di makam. Tidak mungkin saya marah sama om yang sudah meninggal. Kebayang ga itu misalnya kita ga ada yang ngurusin makam. Sebel rasanya ditanya dimana dimana dimana. Nenangin kagak, bikin emosi iya.
Tapi Bapak ternyata tidak makin sembuh. Iya, waktu swab kami cuma ke klinik soalnya. Tapi tidak diberi obat wong lab swab doang. Karena kebetulan lagi di sekeliling rumah kami rumah depan samping dan belakang pada positif tapi diinfus di rumah, saya tanya ke tetangga infus itu kemana plus biayanya berapa. Ya lagi-lagi karena uang kan, secara kami memang tidak punya uang untuk situasi seperti ini. Kalau buat sehari-hari insyaallah tercoverlah. Udah, tidak perlu menghakimi kenapa tidak ada dana darurat. Bisa makan besok saja syukur xD.
Kembali ke Bapak. Sebenarnya kami dilema itu maau masukin Bapak ke RS apa tidak, karena walau BPJS kan banyak rumor kalau orang tua masukin RS yang ada meninggal. Nah itu yang kemarin saya maju mundur buat bawa ke RS. Gimana ya, rasanya kok kasihan dia di RS dan isolasi covid gitu. Rasa tidak rela juga ada.
Akhirnya kami sepakat untuk Bapak dirawat di rumah saja. Mengingat di rumah juga lengkap perlengkapannya. Mulailah kami ngerawat Bapak dengan pakai masker dan berusaha protokol kesehatan. Tapi lama-lama Bapak tambah drop sampai sudah tidak bisa lagi ke kamar mandi. Saya dan suami barengan biasanya bopong ke kamar mandi, kesel juga dia tidak mau pakai diapers wkwkk.
Makin hari kondisi Bapak makin lemah. Ini sudah hari ke-4, akhirnya kami sepakat infus bapak. Seperti tetangga lainnya juga begini soalnya. Karena kami pikir paling tidak ada asupan makanan masuk. Sehari 650ribu. Awalnya enakan tapi tambah lama di hari ke-8, Bapak tambah ngedrop. Sampai sudah tidak bisa ngomong, sesak dan demam tinggi terus.
Berunding lagi sama suami enaknya gimana ya? Akhirnya di hari ke-9, Bapak kami bawa ke puskes terdekat. Dan hasilnya masih positif. Tapi Bapak dapat obat-obatan banyak banget, ada antibiotik juga karena dia TB. Ada kali 6 obat sama vitamin 2 biji. Infus terus lanjut, waktu itu kami memang ditawari kalau dirawat di RS bagaimana? Sebenarnya kami pengen tapi takut. Iya, dilema.
Bapak akhirnya kami rawat di rumah seperti kemarin-kemarin. Cuma karena ada obat kondisinya mulai enakan. Orang puskesnya bilang misal dalam 1-2 hari ini tambah ngedrop tolong langsung UGD ya. Biar langsung dirawat saja. Tapi itu pun nunggu kamar kosong. Iya, melonjaknya penderita covid ini bikin penuh RS. Mau saya bawa ke RS, selalu dibilang kamar rawat covid penuh :(. Duh kampret!
Tiba-tiba.......... di hari ke-10 Bapak positif, Rafif demam tinggi. MasyaAllah sampai menggigil badannya juga tangan kaki dingin dan badannya panas sampai 40 derajat. Kami beri tempra biasa turun sedikit saja ke 38 lalu panas lagi ke 39-40. Saya pun kassi obat proris yang dari pantat gitu bar cepat reda. Lumayan berkurang 4 jam-an kemudia demam tinggi lagi. Semalaman rasanya ingin cepat pagi kami mau bawa Rafif ke puskes.
Jadi malam itu saat Bapak ngaduh-ngaduh dan Rafif demam tinggi, kami bagi tugas lagi terpisah kamar. Saya ngerawat Bapak dan suami ngegendong Rafif. Semaleman. Huhuhu mulai goyang sudah hati ini karena lihat anak sakit. Saat lihat Bapak sakit masih kuat rasanya hati, tapi saat lihat anak sakit langsung ngedrop rasanya.
Pagi hari, Rafif dibawa ke RS. Bapak yang tahu cucunya sakit mulai ga enak, rasanya beliau bersalah bikin cucunya sakit. Sampai nangis :(. Saya bilang tidak apa-apa, wes wayah e emang sakit biar Bapak tidak ngedown banget. Duh itu otak bikin tetap sehat memang susah.
Setelah di swab dan PCR, Rafif positif. Makclos bayi 2 tahunku kena covid :(. Akhirnya dari puskes minta keluarga lain di rumah, berarti saya suami dan anak lain untuk sama-sama di swab. Hasilnya, iya positif.
Rasanya remuk, kesel, sedih dan pengen nangis tapi ama siapa. Soalnya kayaknya tidak ada waktu buat nangis, rasanya kudu terus kuat. Saya dan suami saat itu pelukan erat banget tanpa bilang apa-apa. Saling menguatkan dengan hati, tapi pelukannya sudah seperti berkata "Kita akan baik-baik saja".
Saat itu yang ada di pikiran saya adalah gimana kalau ada apa-apa sama anggota keluarga kehilangan. Rasanya gak sanggup mikirinya. Tapi ya walau sudah dibilang jangan banyak pikiran ya gak bisa oyyyyyyyy. Tetap aja jadi pikiran. Cuma kami harus kuat harus!
Rafif demam tinggi sekitar 4 harian dan setelahnya anaknya sehatttt lagi. Mau main, mau makan, tidak ada sama sekali demam, dan seperti biasanya. Dan demamnya pindah ke Raffi, huhuhu anakku. Berbeda dengan lainnya, Raffi demamnya 38an memang, tapi lama ada kali sampai seminggu naik turun. Dia batuk plus pusing kepalanya.
Saya sampai nangis pas Raffi sakit, rasanya berminggu-minggu semua sakit rontok badan. Capek juga nguatin hati, nguatin pikiran huhuhu. Raffi enakan 10 harian, baru dia bisa mengerjakan tugas sekolahnya kembali.
Selain demam, semua anak-anak pada mencret bukan diare. Dan itu lama banget sampai benar-benar keras. Saya dan suami hampir sama sekali tidak keliatan gejala macem-macem. Cuma saya sesak napas beberapa kali tapi ya karena ada oksigen terbantu sangat. Saya dan suami sudah vaksin ke-2 loh!
Bapak berangsur-angsur pulih, sekarang beliau sudah bisa jalan di sekeliling rumah. Anak-anak pun sekarang sudah sehat kembali. Saya dan suamipun sehat-sehat alhamdulillah. Rasanya sebulan Juli itu sesuatu naik turunnya hati :").
Kadang ada penyesalan kenapa gak dari awal Bapak masuk RS saja. Mungkin waktu itu belum penuh dan menulari yang lain di rumah. Tpi ya sudah dah kejadian kan dan untungnya semua sudah sehat sekarang. Alhamdulillah.
Selain itu yang sedih lagi di bulan Juli 2021, saya kehilangan dua pekerjaan. Yang pertama memang pas habis kontrak, karena perampingan tidak di perpanjang. Ya weslah ya, bisa bilang apa. Yang satunya, saya dipecat tiba-tiba. Iya, kaget juga sebenarnya walau sudah menyangka. Tapi ya sudahlah. Sedih seh, dibilang tidak mengerjakan, padahal hal lain saya juga lakukan. Tidak jalan postingan baru kan bukan berarti webnya tidak jalan? Tidak terima sebenarnya. Cuma kalau dipikir-pikir ya sudahlah. Rasanya juga kayak ditusuk dari belakang sama teman. Tapi lagi-lagi ya gpp. Saya bisa bilang apa. Gajinya sebulan ya satu tulisan blog ini. Semoga Allah yang menentukan zolim tidaknya manusia dan hanya Dia yang bisa membalas perbuatan serupa.
Makanya kenapa saya bilang seperti jatuh tertimpa tangga di bulan Juli kemarin. Sedih pasti. Mana harus cari lagi kerjaan buat menghidupi keluarga saya. Ya bayangin 7 orang tanggungan saya sekarang :") dengan dua kerjaan menghilang. Ya walau masih ada kerjaan lain dan postingan blog bisa mengcover gaji 2 kerjaan hilang itu ya tetap saja, penghasilan jadi berkurang. Saya nangis sama suami, kenapa begini ya. Kata suami, ya sudah tidak apa-apa. Ini pasti ada hikmahnya semua. Bulan Juli ini ada hikmahnya semua.
Hikmahnya ya semua sehat kembali. Ya gimana mau kerja, saya saja susah pegang komputer. Wing ya gak diem lagi ngurusin keluarga pada sakit semua. Menguatkan hati dan berpikir sehat ketika kita sakit dan mengurus orang sakit serumah itu memang sesuatu.
Mohon maaf kalau saya dan keluarga pernah ada salah. Makanya ada saja cobaan. Namanya hidup pasti ada masa naik turun, mungkin sekarang kita di bawah tapi naik turun roda berputar memang kan Tidak ada yang abadi.
Saya mengucapkan terima kasih kepada banyak teman yang ternyata masih ingat sama saya walaupun jauh. Saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sudah kirimin kue, makanan, obat, vitamin bahkan uang ditransfer ke rekening. Alhamdulillah makasih banyak, semua itu habis terpakai saat Juli kemarin.
Iya isoman dan merawat di rumah saja itu ternyata membutuhkan banyak uang :"). Kebayang, untung kita ada banyak pertolongan. Lah kebayang misalnya tidak ada siapa-siapa yang nolong, Kan ngenes sendiri hidup jadinya :").
Bismillah semoga selalu sehat dan rejeki lancar untuk Allah cukupkan saya ma suami membangun keluarga ini, menghantarkan anak-anak saya sampai ke jenjang tinggi pendidikan. Alhamdulillah kami semua sudah sehat dan bisa beraktifitas seperti biasa lagi :"). Alhamdulillah. Iya sehat itu mahal. Sangat.
Semoga yang baca curhatan saya ini juga diberi kesehatan dan keberkahan. Terima kasih buat doa-doanya buat keluarga saya. Dukungan online buat keluarga saya. Terima kasih banyak. Semoga kita selalu baik-baik saja. Aamiin.